A Story by Zhi
Inspirated of GS
Dedicated for my friend, Nov 18th 2010
Tulus – Part C
Aku menatap bayangan diriku di cermin besar dekat tangga. Berputar ke kanan dan ke kiri, sekedar untuk meyakinkan bahwa tidak ada yang sedikitpun yang kurang pada penampilanku. Dan tanpa sadar, dari cermin di hadapanku, terlihat Gabriel telah berdiri di belakangku. Sambil tersenyum, ia mengucap sepatah kata… “Cantik…”
Ia mungkin tidak tau, bahwa pernyataannya barusan bagaikan sayap-sayap yang melengkapi sayap-sayapku dan membuatku terbang bebas di angkasa.
“Ehh… Gabriel… kamu… ngagetin aku aja.” Kataku sambil tersipu malu.
Seperti janjinya kemarin, Gabriel pun menjemputku jam 8 pagi. “Berangkat sekarang yuk…” katanya sambil terus memandangku.
Aku mengangguk, dan segera mensejajarkan langkahnya menuruni tangga menuju swift merah yang terparkir rapi di halaman depan rumahku.
“Kita mau kemana Gab?” tanyaku ketika Gabriel mulai mengemudikan swift merahnya.
“Ke pantai aja yuk... mau gak?”
“Mmm... boleh...”
Aku tersenyum, sambil terus menatap wajah tampan Gabriel. Laki-laki yang tidak pernah kujumpai sejak 7 tahun yang lalu, kini duduk di sebelahku. Ohh… ini seperti mimpi.
*
“Duduk sana aja yuk, Vi...” katanya sambil menggandeng tangan kananku.
Bibirku tak henti melukiskan senyum keindahan. Perasaanku seperti layaknya ballerina yang sedang menari, lembut dan gemulai, terus menari, melayang dan tak ingin berhenti.
Aku mensejajarkan langkahnya, menuju bangku yang ia pilih. Seorang pelayan muda mendekati kami, membawakan dua buah gelas minuman segar untu kami.
“Hehe... semalem aku ketawa-ketawa sendiri lho, Vi... inget kita jaman SD dulu...” kata Gabriel memulai obrolan kami.
“Oya? Inget... yang mana?” tanyaku sambil tersenyum tipis.
“Ya... semuanya. Waktu kamu nangis gara-gara temen-temen suka ngatain kita pacaran. Hehehe...”
“Ya... abisnya aku kan sebel diledekin mulu. Apalagi Zahra suka sama kamu. Aku jadi dimusuhin sama Zahra deh gara-gara dia cemburu...”
“Iya sih, yang aku denger Zahra suka sama aku.” Gabriel diam, dan senyumnya memudar. “Oiya Vi... kenapa dia sampe meninggal?”
Aku mendesah pelan. Terlalu berat untuk mengingat satu hal ini.
“Ceritanya panjang, Gab. Dia kuliah di Bandung. Waktu itu dia mau ke Jogja, ada acara buka puasa bareng temen-temen SMA-nya. Trus dia dijemput sama temen SMA-nya di terminal. Tapi malang, ada truk container menabrak motor yang dinaikinya...”
Tanpa kusadari, butiran air bening menetes di kedua pipiku. Tiba-tiba ada sedikit rasa sesak melanda perasaanku ketika aku mengingat Zahra.
Zahra adalah sahabat baikku. Kami selalu duduk sebangku sejak SD hingga kelas 3 SMP. Ya, 9 tahun aku duduk sebangku dengan Zahra, yang akhirnya berbeda sekolah denganku ketika masuk SMA hingga kuliah. Dan akhirnya setahun yang lalu, kejadian malang itu menimpanya.
“Udah... udah... jangan nangis donk. Aku gak bermaksud bikin kamu sedih kok...” kata Gabriel yang membiarkan jemarinya menghapus air mataku.
“Iya Gab... aku cuma kangen aja sama Zahra.” Kataku kemudian mengambil alih tugas Gabriel, menyeka sisa-sisa air mata yang belum sempat terhapus olehnya.
“Semua temen kita juga kangen sama Zahra, Vi... yang penting kita selalu doain dia, supaya dia tenang disana.” Aku mengangguk, menyetujui kalimatnya.
“Ehh, waktu aku mau pindah itu... kamu kok gak ngasih kenang-kenangan buat aku sih?” tanyanya lagi. Kini senyumnya terpulas lagi dari kedua sudut bibirnya.
“Aku kan takut kalo diledekin temen-temen lagi, Gab...” kataku sambil mengerucutkan kedua bibirku.
“Hehe... iya juga sih. Makanya waktu aku ngasih kenang-kenangan buat kamu, langsung aku anterin ke rumah kamu aja...” Gabriel mengangkat kedua kakinya ke atas bangku, dan kedua tangannya dilingkarkan hingga memeluk kedua lututnya. “Masih kamu simpen gak?”
Aku menatapnya. Tentu saja aku masih menyimpannya, sebuah buku diary berwarna perpaduan coklat muda dan coklat tua bergambar zodiakku, Aquarius, dan sebuah pulpen bergambar tazmania berwarna kuning dengan tali berbentuk kalung di ujung atasnya. Aku begitu menjaganya karena itu pemberian dari pangeran kecilku.
“Kok diem aja sih, Vi...” Gabriel menatapku lagi.
“Ehh... iya, Gab. Masih kok... masih aku simpen.”
Mengapa aku banyak menghabiskan waktu untuk diam saja? Bukankah aku sudah berjanji untuk tidak menyia-nyiakan hadiah dari Tuhan ini?
Ahh… kebersamaan ini tak boleh kusia-siakan.
“Diary coklat bergambar zodiak Aquarius sama pulpen kalung bergambar tazmania berwarna kuning...” Kata Gabriel sambil menerawang ke depan.
“Kamu... masih inget semuanya, Gab?” Tanyaku heran. Sungguh, aku tidak menyangka bahwa ingatannya tentang ini masih tertanam kuat.
“Hehe... gak semua sih. Tapi paling enggak, sebagian besar aku inget...” Gabriel menoleh ke arahku lagi. “Kamu… masih kayak dulu ya, Vi… cantik…”
Uhukk... uhukk... aku tersedak minumanku sendiri. Pertanyaan Gabriel barusan sukses membuat wajahku memerah seperti tomat.
“Hehe… pelan-pelan kali, Vi…” katanya sambil mengusap-usap tengkuk kepalaku. Aku hanya diam, lagi, berusaha menetralkan tenggorokanku yang tersedak. Tak dapat kupungkiri, sesungguhnya aku begitu menikmati setiap usapan lembut tangannya.
“Aku mau bikin pengakuan sama kamu nih, Vi…”
“Apa?” tanyaku heran.
“Kamu inget soal Septian gak?”
Aku mengangguk. “Septian… pacar kamu waktu SD kan? Yang rumahnya di Bandung?”
“Sebenernya… Septian itu cowo lagi, Vi. Dia itu sepupu aku. Tapi aku sebel sama temen-temen yang gak ada berhentinya ngeledekin kita mulu, sampe kamu nangis terus dan dimusuhin Zahra. Akhirnya, aku bilang aja kalo Septian itu pacar aku.”
“Hehehe… Ohh, jadi Gabriel itu hom”
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Gabriel buru-buru membekap mulutku. “Gila kamu Vi… aku gak gitu kali! Entar kalo ada yang denger bisa kacau. Masa cowo ganteng kayak aku dibilang begitu sih?!”
“Hahaha… abisnya ide kamu gila banget sih?!”
Ohh… ide Gabriel konyol sekali. Tak terbayang, dia berani berbohong demi menghentikan kejailan teman-teman masa kecilku.
“Daripada kamu nangis terus, hayou?” Gabriel meletakkan tangan kirinya di atas puncak kepalaku sambil mengusapnya pelan.
Dan desiran hangat dari alian darahku kembali terasa, melengkapi suasana indah yang tanpa sengaja kembali kami ciptakan.
“Aku kan gak tega juga…” katanya lagi sambil terus membelai puncak kepalaku.
Aku menunduk malu. Tiba-tiba aku merasakan ada sepasang kupu-kupu terbang berkejaran di dalam hatiku. Ohh… mungkin aku terlalu berkhayal.
“Aku sedih lho, Vi... waktu pesta ulang tahun aku yang ke-8, kamu gak dateng kan?” tanyanya sambil menurunkan tangan kirinya.
“Aku bisa jelasin kok...” Kataku sambil meletakkan segelas minuman di tanganku.
“Emang kenapa kamu gak dateng?” Tanya Gabriel dengan wajah bingung.
“Tapi kamu jangan ngetawain aku ya...” Gabriel mengangguk.
“Janji?” tanyaku lagi seraya memastikan.
“Janji.” Gabriel mengubah posisi duduknya menghadap ke arah diriku.
“Waktu itu... Mama juga nanyain aku, kenapa aku gak dateng di pesta ulang tahun kamu. Padahal anak-anak teman Papa yang lain kamu undang kan?! Semua temen sekelas juga kamu undang. Mama bahkan gak percaya kalo kamu gak ngundang aku…”
“Tapi, aku kan gak mungkin gak ngundang kamu Vi… perasaan aku udah kasih undangan ke kamu juga deh?!” kata Gabriel mengerutkan kening, sambil berusaha mengingat kembali.
“Emang kamu udah ngasih undangan ke aku kok.” Kataku santai.
“Trus…???”
“Undangannya aku buang, biar gak ketauan Mama.”
“Kenapa?”
“Karena aku gak mau dateng ke pesta ulang tahun kamu.”
“Kenapa gitu?” Gabriel kembali mengerutkan kening.
“Karena aku… takut disuruh foto sama kamu…”
“Bwahahaha…” Sebuah tawa tiba-tiba meledak dari wajah manisnya.
“Tuh kan, janjinya gak mau ngetawain?!” Aku mengerucutkan bibirku, menyesali perkataan yang terlontar dari bibirku dan tak dapat kutarik ulang.
“Abisnya kamu lucu sih, Vi… ada-ada aja… xixixi…” Gabriel masih saja terkekeh mendengar kalimatku tadi. Apanya yang lucu? “Kamu tuh ya, segitunya banget… xixixi…”
“Ihh, kamu tuh nyebelin ya Gab?! Aku kan takut kalo nanti temen-temen ngeledekin kita lagi gara-gara aku foto sama kamu…”
“Xixixi… ya lagian, siapa juga yang mau foto bareng kamu?!”
Aku memandangnya lagi. Sungguh, aku baru saja membuat sebuah pengakuan bodoh. Pengakuan yang membuatku terjebak dalam lubang yang ku buat sendiri.
“Ahh… kamu nyebelin, kamu nyebelin, kamu nyebelin…” kataku sambil memukuli lengan kiri Gabriel.
“Aduhh… ampun Nyai… ampun…” Gabriel berusaha menghentikan tingkahku.
“Kamu nyebelin…” Aku bergegas berdiri dan berlari pelan meninggalkannya.
Bukan… bukan karena aku marah dengannya. Tapi aku hanya merasa malu, telah memojokkan diriku dengan pengakuan bodoh yang tidak seharusnya ku ungkapkan.
“Via… Via… tunggu donk…”
Secepat kilat Gabriel telah mensejajarkan langkahnya denganku. Bagaimana tidak? Tubuh jangkung dan kedua kaki jenjangnya dapat dengan mudah mengejarku yang begitu pelan berlari.
Aku tetap tak bersuara, sambil menatap laut dan meneruskan berjalan menyusuri pantai.
“Via, jangan marah donk… Aku minta maaf deh…”
“Bohong!!! Tadi kan kamu udah janji gak bakal ngetawain aku!!!” kataku galak.
“Abisnya kamu lucu banget sih, Vi… xixixi…”
“Tuh kan, kamu ngetawain aku lagi?!” Sungguh, aku dibuat malu olehnya.
“Iya deh, Vi… aku minta maaf deh… Jangan marah donk…” Gabriel merayuku. Dan aku, masih tetap berjalan dan sama sekali tak peduli dengan kata-katanya. Hingga akhirnya…
“Besok aku balik ke Malaysia, Vi…”
Aku tercekat, dan langkahku tiba-tiba terhenti. Aku menatap lekat-lekat wajah manis pangeran kecilku. Dan dia pun balas menatapku.
Hening, hanya deburan ombak yang terdengar mengiringi drama yang kembali kami ciptakan.
“Aku naik pesawat pertama, jam 4 pagi. Soalnya aku sama Kak Irva besok sore mau nyusul Mama Papa ke Singapura.”
Aku masih terdiam, menikmati suasana melankolis yang aku ciptakan sendiri. Sesak. Hanya itu yang aku rasakan saat ini.
“Kamu baik-baik disini ya… “Gabriel meletakkan kedua telapak tangannya di kedua pundakku.
Aku merasakan sudut kedua mataku yang semakin panas, seperti ada air hangat yang membasahinya. Tak dapat kutahan, dan kini… terciptalah aliran sungai kecil di kedua pipiku.
“Lho… kamu kok nangis?!” Gabriel menaikkan posisi tangannya hingga membelai lembut pipi kanan dan kiriku. Ia terus menerus menatapku, membuat aliran sungai di pipiku mengalir semakin deras, tanpa aku mampu membendungnya.
Gabriel mendekat, kemudian mengarahkan kepalaku untuk bersandar di dadanya. Ya… pelukannya begitu hangat, melebihi hangatnya air mataku saat ini. Dan kini, tanpa ragu lagi, ku tumpahkan semua tangisku di pelukannya.
Dalam dekapannya yang lembut, untuk pertama kalinya aku merasa menemukan belahan jiwaku dalam sosoknya. Detak jantung Gabriel pun dapat ku dengar dengan jelas, tidak beraturan, seakan ingin turut serta merasakan drama romantis yang sedari tadi hatiku rasakan.
“Kamu jangan pernah ngerasa aku ninggalin kamu, Vi… kamu itu sahabat aku dari kecil. Dan gak mungkin aku lupain kamu…” katanya sambil terus membelai rambut panjangku.
Aku berusaha mencerna kalimatnya. Meski aku masih begitu menikmati hangat peluknya, sambil mendengarkan detak jantungnya yang semakin tak teratur menerima tubuhku yang semakin gemetar seperti orang kedinginan.
“Aku janji, kita gak akan hilang kontak kayak dulu lagi.”
Aku menarik tubuhku, hingga berjarak dengan tubuhnya. Aku menatapnya lagi, menikmati setiap lekukan wajah tampannya. Ya, aku tak ingin menyesal untuk kesekian kalinya. Karena bagaimanapun, setiap penyesalan hanya membuatku tidak nyaman.
“Aku bakal sering hubungin kamu. Kita bisa smsan, telfonan, ym-an, fesbukan, twitteran… pokonya aku gak mau kita hilang kontak kayak dulu lagi. Oke?”
Aku mengangguk, mengangguk bahagia, sekalipun sejujurnya ada bagian dari hati ini yang terluka.
“Udah ya, jangan nangis lagi…” katanya sambil menyeka air mataku dengan jemarinya. “Senyum donk…”
Aku pun menuruti perintahnya, tersenyum, berusaha menikmati sensasi apa yang terjadi dalam kebersamaanku bersama Gabriel. Kebersamaan yang entah kapan akan kami ciptakan kembali. Kebersamaan yang dulu sempat terhalang karena jarak, dan karena sesuatu yang sangat tidak prinsipil.
Sesungguhnya, aku hanya ingin bisa lebih lama lagi bersamanya…
To Be Continue...
Note:
- Thanks to Sivia, Gabriel, Septian, Zahra *pinjemnamayasayang*.
- Thanks to GS for inspiration.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar