Alvin Rio Cakka

Minggu, 05 Desember 2010

Tulus – Part B


A Story by Zhi
Inspirated of GS
Dedicated for my friend, Nov 18th 2010

Tulus – Part B

Laki-laki itu... penampilannya berubah. Tidak seperti saat terakhir aku bertemu dengannya 7 tahun lalu, saat ia bertandang ke rumahku dalam rangka liburan Hari Raya. Terang saja, badannya begitu tegap dan tinggi. Rambutnya lebih gaya. Begitu juga penampilannya yang terlihat keren, dengan kemeja pendek perpaduan warna hitam dan merah yang tampak manis. Membuat kulit hitam manisnya semakin terlihat manis. Dan satu hal yang pasti… ia terlihat dewasa.

“Gab... Gabriel...” kataku terbata-bata.

“Iya... kamu masih inget aku kan?” tanyanya lagi.

Begitu melihatnya kembali, aku merasakan perubahan besar dari dirinya. Sungguh, aku benar-benar tidak bisa mengontrol detak jantungku yang semakin tak karuan. Seperti ada sensasi tersendiri, apalagi ketika dia maju dua langkah mendekatkan posisinya dengan posisiku berdiri.

“Kok diem Vi? Aku keren gak?” Katanya tersenyum sambil sedikit menata rambutnya. Sepertinya ia bisa membaca pikiranku.

“Ehh... iya...” Aku berusaha menutupi kegugupanku dengan tersenyum, berharap Gabriel tidak menyadari sikap aneh yang tanpa sengaja aku tampilkan begitu saja.

“Gimana kabar kamu? Kuliah dimana sekarang?” Ohh, senyumnya masih tetap manis, seperti dulu.

 Aku dan dia pun duduk di bangku panjang sebelah timur laut panggung, dekat meja softdrink, tak jauh dari tempat kami berdiri tadi.

“Aku baik, kuliah di Universitas Nusantara. Kamu?”

“Aku juga baik...”

Tiba-tiba suara Shilla dari atas panggung membuat semua hadirin memfokuskan kedua matanya masing-masing, memandangi si tuan rumah yang sekaligus merangkap sebagai MC bersama Alvin.

“Temen-temen, kita mulai acaranya yuk... mumpung udah banyak yang dateng...”

Acara dimulai, dan semua teman-temanku berbaur mendekat ke panggung, menikmati acara reuni SD untuk pertama kalinya setelah 14 tahun kami dinyatakan lulus.

Aku berdiri, sambil membetulkan lekukan rok-ku yang sedikit berantakan, siap melangkah untuk berbaur dengan mereka. Tapi tiba-tiba, tangan kananku tertahan.

“Kita disini aja, masih keliatan juga kan panggungnya...” Tangan kiri laki-laki itu… ternyata dia yang menahanku.

Aku mengangguk, kemudian duduk kembali. Kami begitu menikmati acara spesial ini. Dan berkat ide cemerlang Shilla, kami pun bisa menikmati permainan gitar akustik Rio yang diiringi dengan permainan piano Ify. Mereka bernyanyi bersama di atas panggung, melantunkan sebuah lagu cinta yang mungkin tengah menggambarkan suasana hati mereka.

Awalnya keduanya tampak canggung, dan terlihat jelas kegugupan dari masing-masing. Tapi seiring mengalunnya nada-nada yang mereka mainkan secara tulus dari hati yang terdalam, keduanya tampak larut dalam permainan satu sama lain, menciptakan kenangan manis yang dulu sempat terlewatkan dalam perjalanan hidup keduanya.

Sementara aku... hanya mampu terdiam dari atas bangku. Menikmati setiap aliran darah yang mengalir deras dari dalam tubuhku, mengiringi detakan jantungku yang semakin tak teratur dan menciptakan sensasi luar biasa.

Aku memilih menunduk sambil menikmati penampilan kedua sahabatku dari atas panggung. Kedua mata beningku merasa lebih nyaman untuk memandangi ujung-ujung higheels-ku, daripada harus beradu pandang dengan kedua mata bening laki-laki yang kini duduk di sebelah kananku.

“Si Rio makin jago deh main gitarnya...”

Aku mengangkat kepalaku, sekedar untuk memandang ke arah panggung. “Iya... Ify juga keren main pianonya.”

Sungguh, aku sedikit tidak nyaman dengan suasana yang tanpa sengaja aku ciptakan sendiri. Tidak tau harus memulai pembicaraan darimana. Bahkan tidak tau topik apa yang seharusnya kami bicarakan. Sejauh ini aku hanya menunggunya bicara, melontarkan pernyataan atau bahkan pertanyaan yang… aku pikir sangat standar.

“Eh iya, Vi... kamu masih suka nari gak? Dulu kan kamu jago banget nari daerah. Tiap perpisahan kakak-kakak kelas 6 selalu tampil.” Katanya lagi.

“Ohh... itu... udah enggak kok, Gab. Aku udah jarang latian.”

“Mmm, sayang banget ya. Padahal nari kamu bagus lho. Kak Irva aja suka cerita, dulu waktu latian nari... kamu cepet banget apalnya, dia aja kalah...”

Aku menghadapkan wajahku kepadanya, sedikit kaget. Tapi aku memutuskan untuk menunggu ia meneruskan kalimatnya.

“Kamu inget gak waktu kamu nari kupu-kupu bareng Kak Irva dulu pas papa-papa kita ngadain acara syukuran keberhasilan bisnisnya? Yah... kita-kita juga deh, anak-anaknya, yang dipajang di atas panggung. Kata mereka, mereka bangga punya anak-anak kayak kita. Hehe…” Katanya semangat.

Mataku menerawang ke depan, melanglang buana mengingat kejadian saat kami masih kecil. Ya... aku ingat, kami putra-putri para pebisnis, berlatih menari bersama setiap sore, untuk dipentaskan di acara syukuran keberhasilan bisnis papa bersama tim-nya.

“Aku inget banget, waktu itu aku juga latihan nari kuda-kepang sama adik kamu... si Ozy. Wahh... pasti dia sekarang udah gede.” Sambung Gabriel lagi.

Aku mengerutkan kening. Sungguh tidak menyangka... dia bahkan masih mengingat itu?

“Iya, Ozy udah kuliah sekarang...” Responku singkat. Masih tidak mampu menyusun puzzle kalimat yang sepantasnya ku ucapkan.

“Lucu ya, Vi... kalo inget-inget jaman dulu.” Katanya sambil tersenyum kepadaku. Aku mengangguk sambil membalas senyumnya.

Ya, memang lucu... dan terkadang geli sendiri mengingat masa kecil kami. Andai waktu bisa terulang, mungkin aku akan menciptakan lebih banyak kenangan bersamanya, agar aku tidak pernah kehabisan momen untuk mengingat kembali masa indah itu.

*

Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 4 sore. Acara reuni telah terlaksana dengan baik. Sebagian besar teman-teman kecilku pun sudah meninggalkan tempat ini. Hanya tersisa beberapa orang saja. Shilla, Alvin, Ify, Rio, Gabriel... dan diriku.

Alvin yang rumahnya memang bersebelahan dengan Shilla, menahan kami agar tidak buru-buru meninggalkan tempat ini.  

“Ehh... foto dulu yuk...” Alvin bahkan sengaja mengabadikan kebersamaan kami lewat kamera SLR yang dibawa Gabriel. Kami berfoto bersama, melepas kerinduan dan menikmati kebersamaan kami.

“Rio foto sama Ify donk...” pinta Alvin. Rio dan Ify tampak malu-malu, tapi akhirnya sebuah jepretan dari tangan mahir Alvin pun mengabadikan kebersamaan mereka berdua.

Aku terus menerus memandangi kedua sahabatku yang tengah dimabuk cinta itu. Wajah Ify langsung memerah ketika Rio secara tiba-tiba membetulkan letak pita Ify yang berubah posisi dari semula karena tersenggol ranting bugenvil di tepi kolam renang. Ohh... manis sekali...

“Sekarang Gabriel sama Sivia donk...” kata Alvin lagi.

“Hah... gue?” kataku kaget.

“Iya... kalian berdua. Ayo Gab...”

Gabriel berjalan mendekati Alvin. Ia nampak setuju saja dengan usulan Alvin. “Vi... ayo sini, kita foto bareng.”

Dengan sedikit canggung, aku melangkah dan berdiri di sebelah kanan Gabriel. Aku dan Gabriel pun akhirnya berfoto bersama.

“Senyum donk, Vi...” kata Alvin sambil menfokuskan bidikannya. “Sip...”

 
Ify tampak menikmati kebersamaannya bersama Rio. Begitu pula Alvin dan Shilla, kedua sahabat sekaligus tetangga, yang tampak asik melihat-lihat foto hasil jepretan Alvin selama acara tadi.

Hanya aku dan Gabriel yang tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing. Atau mungkin, lebih tepatnya menyibukkan diri masing-masing. Gabriel tampak berkutat dengan handphone-nya, sementara aku tengah membaca-baca pesan dan kesan teman-teman yang hadir tadi, lewat buku tamu yang kutemukan di atas meja dekat tempatku duduk.

Ketika masih asik dengan kegiatanku, tanpa ku sadari, Gabriel mendekat dan duduk di sebelah kananku.

“Belum mau pulang, Vi?”

Secepat kilat aku mengarahkan pandanganku kepada Ify dan Rio. Dua sejoli yang sedang dimabuk cinta monyet itu tampak asik dengan dunia yang mereka ciptakan. Dunia yang hanya mereka berdua yang memiliki, dan tak boleh ada seorang pun yang ikut tinggal bersamanya.

Sepertinya aku bingung harus bagaimana menjawab pertanyaan Gabriel. “Mmm... Ify kayaknya masih pengen sama Rio deh...”

“Ya ampun, Via... kamu tuh polos banget sih? Ckckck...” Gabriel tersenyum tipis.

“Polos... gimana maksudnya?” Sungguh, aku tidak mengerti maksudnya.

“Ify pasti pulang sama Rio-lah...”

Belum sempat kutanggapi kalimat Gabriel, tiba-tiba Ify dan Rio menghampiri kami.

“Vi... mau pulang sekarang gak? Kita naik mobilnya Rio aja...” kata Ify.

Benar saja kata Gabriel barusan. Ify berniat pulang bersama Rio.

“Nanti Via biar pulang sama gue, Fy... elo sama Rio duluan aja.” Kata Gabriel sebelum aku sempat merespon kalimat Ify.

“Oke deh. Jagain Via, ya Gab... jangan diturunin sembarangan.” Goda Ify yang diikuti senyum jail Rio.

“Siap bos...”

“Kita duluan ya...” Pamit Rio kemudian.

Aku dan Gabriel sama-sama diam, memandangi kedua punggung sahabat kami yang semakin menjauh. Sepertinya pertanyaan atas keraguan Ify terhadap Rio selama ini terjawab sudah. Kini keduanya tak ragu lagi untuk bergandengan tangan, seakan benar-benar tidak ingin untuk kedua kalinya melewatkan kesempatan yang Tuhan hadiahkan.

“Mereka cocok ya, Vi...” kata Gabriel menyadarkan lamunanku.

“Ehh, iya...” Jawabku singkat.

“Salut deh... 15 tahun, dua-duanya jalanin semuanya masing-masing, sama pasangan masing-masing, sama dunianya masing-masing, tapi tetep aja balik kesitu lagi...”

Aku mengangguk menyetujui kalimatnya. Dan kulihat Gabriel masih memandangi mobil Rio yang tampak meninggalkan halaman rumah Shilla.

“Pulang sekarang yuk...” tiba-tiba Gabriel berdiri, dan aku pun mengikutinya, menghampiri Shilla dan Alvin sekedar untuk berpamitan.

“Shil, Vin... kita pamit dulu ya, udah sore.” Pamitku kepada keduanya.

“Ohh... padahal masih kangen, Vi.” kata Shilla yang tanpa sengaja menunjukkan wajah kecewa. “Kapan-kapan maen lagi ya...”

Aku mengangguk, dan Gabriel pun mendekati Alvin. Belum sempat Gabriel mengucapkan sepatah katapun, Alvin sudah menggodanya.

“Shil... abis makan-makannya Rio sama Ify, kayaknya bakal ada makan-makan lagi deh...”

“Apaan sih lo, Vin... ada-ada aja.” Kata Gabriel yang menghadiahkan sebuah sikutan ke perut Alvin.

“Awww... jahat lo, Gab.” Alvin meringis tapi setengah terkekeh. Sementara aku dan Shilla, hanya bertukar tawa melihat tingkah kekanak-kanakan keduanya.

“Okelah, gue pamit ya... Kamera-nya gue bawa. Entar foto-fotonya gue upload di fesbuk aja.”

“Oke, sip...” kata Alvin sambil menyerahkan kamera SLR kepada Gabriel.

*

Tak banyak yang kami bicarakan dalam perjalanan pulang. Aku lebih memilih untuk diam sambil mengarahkan pandanganku keluar jendela. Dan Gabriel, tampak fokus mengendarai swift merahnya, sambil sesekali ikut bersenandung menyanyikan lagu-lagu yang diputar dari radio mobilnya.

“Mama Papa gimana kabarnya, Vi?” tanya Gabriel memecahkan keheningan diantara kami.

“Baik. Mama Papa kamu apa kabar juga?”

“Baik. Mereka nitip salam juga buat keluarga kamu...”

“Ohh... salam balik ya, buat Om sama Tante. Mereka gak ikut kesini?”

“Enggak. Mama Papa lagi ke Singapura, ngurus bisnis gitu deh...”

Entah kenapa, sampai detik ini aku masih merasa canggung untuk menghabiskan waktu hanya berdua bersama Gabriel. Tidak seperti Ify dan Rio.
Ya, hanya berdua. Harus ku akui, terlalu banyak yang ingin kesampaikan dan kutanyakan padanya. Pertanyaan dan rasa ingin tahu yang selama ini hanya tertata rapi dalam ingatanku. Tapi nyatanya, tidak satupun yang mengalir lancar dari mulutku. Seperti ada lingkaran yang menahanku hingga aku tak bebas untuk berlari.

“Rumah kamu masih di daerah Puri Sartika kan?” tanyanya menyadarkan lamunanku.

“Ehh... iya, Gab. Kamu... masih inget jalannya?” Jawab dan tanyaku lagi.

“Mmm... lupa-lupa dikit sih. Hehe... entar kasih tau ya, kalo salah jalan.” Aku tersenyum membalas senyumnya. Sungguh, ia manis sekali...

Aku sadar, ini kesempatan besar untuk merajut kembali semua yang sempat berantakan. Tapi aku tak tau darimana harus memulainya. Memang, tidak ada seorang pun yang tau, bahwa aku... sama seperti Ify.

Aku masih menyisakan setengah ruang hatiku untuk Gabriel, meski aku pernah menjalin komitmen dengan orang lain. Dan kini, ketika waktu mengijinkan aku untuk bertemu kembali dengannya, rasa itu menyeruak, seakan memaksaku untuk tidak melewatkannya lagi... sama seperti Ify dan Rio.
Tapi... apa Gabriel juga merasakan hal yang sama?

“Vi... besok jalan yuk...” Secepat kilat ku alihkan pandanganku dari luar mobil menghadap ke arah Gabriel.

“Hah? Jalan?” Gabriel mengangguk. “Kemana?”

“Kemana aja... terserah kamu. Kan udah lama juga aku gak ketemu kamu. Jadi mau donk, jalan seharian sama aku...” Tanpa sengaja Gabriel menunjukkan wajah memohon.

“Mmm... gimana ya, Gab?”

“Ayolah, Vi... mumpung aku bisa balik ke Indonesia... Mau ya...”

Aku tidak tega menolak permintaannya. Ohh bukan... bukannya aku tidak tega. Aku hanya ragu. Semakin aku bersama Gabriel, semakin aku merasa bersalah. Bersalah karena telah melewatkan kesempatan hanya untuk diam dan tetap diam. Tak banyak bicara, seperti saat ini.

Tapi, mengapa aku tidak berusaha memperkecil kesalahan itu? Agar tidak terulang lagi dalam sisa waktu yang Tuhan hadiahkan untuk bisa ku lalui bersama Gabriel?  

Aku berpikir sejenak. Mungkin... tak ada salahnya dicoba. Toh bagaimanapun, ada keinginan besar dari dalam hatiku untuk tidak melewatkan kesempatan baik ini.

“Oke deh...”

“Sip... besok aku jemput jam 8 ya.” Kata Gabriel sambil tersenyum.

Aku mengangguk, dan kembali menyembunyikan wajah merahku dengan terus menatap keluar jendela. Sungguh, ada rasa bahagia yang menyelinap dalam setiap aliran darahku. Rasa bahagia yang selama ini terlewatkan, tanpa aku peduli telah melewatkannya.

“Ehh... bener kan ini jalannya?” tanya Gabriel lagi.

“Iya bener kok. Entar lampu merah depan ambil kiri aja...”

“Okey...”

Rasanya hati ini mulai mampu bersahabat dengan keadaan. Bahkan telah bersiap untuk membentangkan sayapnya lebar-lebar, menyambut sebuah cinta lama yang perlahan kembali.

Aku bahkan merasa tidak sabar menunggu hari esok. Ingin segera menikmati hari bersama pangeran kecilku yang kini mampu membuat sayap-sayap patahku kembali mengepak dan bersiap terbang bersamanya.

To Be Continue...

Note:
·         Thanks to Sivia, Ify, Shilla, Rio, Gabriel, Alvin, Irva, Ozy *pinjemnamayasayang*.
·         Thanks to GS for inspiration.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar