Alvin Rio Cakka

Sabtu, 11 Desember 2010

Tulus – Part D

A Story by Zhi
Inspirated of GS
Dedicated for my friend, Nov 18th 2010

Tulus – Part D

Tak terasa, sebulan sudah Gabriel meninggalkan tanah air tercinta. Meninggalkanku untuk kesekian kalinya, untuk sebuah masa yang dia sendiri tidak tau kapan akan berakhir. Satu musim, dua musim… atau bahkan sepanjang masa?

Mataku masih menggenggam erat diary coklat bergambar zodiak Aquarius pemberian Gabriel 10 tahun lalu. Resah… tidak ada pesan singkat darinya sejak seminggu terakhir. Menimbulkan pertanyaan-pertanyaan aneh yang hanya mampu berkeliaran dalam pikiranku.

Mungkin saja kesibukannya sebagai pengusaha muda generasi penerus di perusahaan keluarganya cukup menyita sebagian waktunya. Belum lagi dengan kegiatan kuliah yang membutuhkan konsentrasi penuh dan stamina prima.

Alun sebuah symphony
Kata hati disadari…

Sebuah nada pesan singkat berdering dari handphone-ku. Aku meraihnya, kemudian duduk di tepi tempat tidurku sambil membaca pesan singkat yang tertulis. Ohh bukan dari Gabriel, tetapi dari salah seorang sahabatku.

From: Rio
Buka fesbuk, Vi. Udah di tag-in foto tuh sama Gabriel. (^_^)

Tanpa menunggu, ku ketikkan sebuah kata untuk membalasnya.

To: Rio
Oke. (^_^)

Secepat kilat ku lemparkan handphone ke atas tempat tidur. Tidak peduli lagi. Kemudian aku bergegas membuka laptop sambil duduk manis di kursi belajar.

Sesuai dengan perintah Rio, ku aktifkan akun fesbuk, dan ku dapati beberapa pemberitahuan baru, yang salah satunya bertuliskan sebuah kalimat.

‘Gabriel Stevent Damanik menandai Anda dalam fotonya’.

Aku tersenyum, dan karena sudah tidak sabar, sesegera mungkin ku buka foto yang ditandai Gabriel.

“Pasti foto waktu reunian kemarin.” Kataku ceria.

Benar saja. Gabriel menandai aku dalam foto-foto yang diciptakan dengan kamera SLR-nya sekitar sebulan yang lalu. Dan untuk beberapa saat jemariku berhenti beraktifitas. Mataku sibuk menatap foto hasil bidikan Alvin, dengan hanya aku dan Gabriel sebagai objeknya.

Gabriel… sungguh ia terlihat tampan sekali. Senyumnya begitu manis, terlihat tulus dari hatinya yang terdalam. Kemeja kombinasi warna merah dan hitam tidak membuat kulitnya semakin gelap. Justru cocok dengan warna baju yang kukenakan.

Kugerakkan kembali jemariku mengetikkan sesuatu pada kotak komentar.

“Bagus Gab. Aku suka banget… Boleh donk aku kopi?”

Lagi-lagi hanya sebuah kalimat standar … atau mungkin tidak ada artinya. Lalu harus bagaimana? Aku tidak pandai menciptakan sebuah kalimat romantis.

Tidak puas hanya memandangi satu foto saja, aku pun menyempatkan diri melihat koleksi fotonya. Baru kali ini saja aku menyempatkan membuka profilnya. Bukan apa-apa. Tugas kuliahku yang cukup menyita membuatku jarang mengaktifkan akun fesbukku. Sejak acara reuni hingga sebelum membaca pesan singkat Rio tadi, aku bahkan baru sekali saja mengaktifkan akunku. Itu pun hanya untuk mengkonfirmasi permintaan pertemanan dari sahabat-sahabat masa kecilku itu, termasuk Gabriel.

Ada album foto bersama keluarga, teman-teman kuliah, teman-teman klub fotografinya, dan sebuah album berjudul ‘my angel’.

Penasaran. Satu kata yang menyeruak di antara partikel-partikel tubuhku yang bergerak semakin tak beraturan.

Dengan tangan gemetar, perlahan kulihat satu persatu foto-foto di dalamnya. Hanya ada dua objek manusia pada album foto yang judulnya saja sudah membuatku senam jantung tak kunjung henti. Kalau tidak Gabriel, berarti hanya  gadis itu sebagai objeknya. Tapi, gadis dalam foto-foto ini… aku tidak pernah mengenal sebelumnya. Dia terlihat begitu asing bagiku.

Entah di urutan foto untuk kesekian kalinya, aku begitu terkejut melihat foto-foto Gabriel bersama gadis itu. Di salah satu foto itu memiliki keterangan,

‘Me with my angel. She is my girlfriend. And I love her so much ^_^’



Buru-buru aku melihat Informasi Profil Gabriel, dan benar saja. Dalam status hubungannya tertulis jelas,

’18 Oktober 2010’
‘Gabriel Stevent Damanik in relationship with Angelica Martha Pieter’.

Sudah dua minggu yang lalu…

Ribuan tanda tanya tetap tak kunjung pergi dari pikiranku. Jemariku tampak sibuk mengarahkan kursor pada tulisan ‘Angelica Martha Pieter’. Dan klik…

Sebuah profil dengan objek foto gadis yang sama dengan album ‘my angel’ milik Gabriel, menghiasi layar putih dengan kepala halaman berwarna biru di hadapanku.

Hening. Aku beranjak dari tempat dudukku, kemudian membaringkan tubuhku di atas tempat tidur, dan menutup mata rapat-rapat. Hatiku terasa sesak. Ada perasaan rindu yang sedari tadi berkobar kini meredup dan mengarah padam.

Dalam hitungan detik, satu persatu tanda tanya di pikiranku mulai mundur perlahan, berganti menjadi tanda seru.

Hanya sebuah penyesalan yang kini bersarang di kepalaku. Penyesalan yang sebenernya tercipta karenaa kesalahanku sendiri. Membuat pikiranku secara sengaja memilih berhenti sejenak untuk memikirkan apapun.

Kenapa aku kembali melewatkan kesempatan itu? Kesempatan berarti yang entah kapan akan kudapatkan lagi. Kenapa  aku harus selalu diam dan tak berani memulai semuanya? Dia pria, dan aku wanita. Seharusnya dia dulu yang memulai semuanya. Tapi… bukankah keadilan gender sudah lama berlaku?

Aku terlalu ragu, untuk memulai semuanya bersama Gabriel. Bahkan sama sekali tidak yakin untuk berusaha menemukan jawaban dari sebuah pertanyaan inti atas perasaanku.

Tidak ada kata sayang yang terucap, ketika kami menghabiskan waktu bersama di pantai kala itu. Tidak ada kata sayang yang terucap, ketika dia menyandarkan kepalaku di dadanya, kemudian memelukku erat. Tidak ada kata sayang yang terucap, ketika dia membiarkan aku menumpahkan semua tangisku dalam dekapan hangatnya. Tidak ada kata sayang yang terucap, ketika jemarinya dengan lembut menghapus air bening yang mengalir dari kedua sudut mataku.

Hanya sahabat. Ya, hanya sahabat… begitulah arti diriku untuknya. Sahabat yang telah menemani perjalanan seperempat usianya, sahabat masa kecilnya. Dan kini, setelah takdir berkata lain, yang aku rasa hanya sebuah penyesalan.

Aku membuka mata perlahan. Kemudian meraih handphone yang sedari tadi tergolek pasrah di atas tempat tidurku. Kupasangkan kedua headset ke telingaku. Kemudian kunyalakan radio dengan channel sekenanya.

Kembali ku menutup mata, mendengarkan suara riang sang penyiar yang tengah bersenda gurau dengan pendengarnya melalui telfon online. Hanya berharap penyiar yang tak ku kenal itu bisa membawaku pergi dari suasana melankolis yang sungguh menyesakkan ini.

Namun, justru kebalikan dari itu yang aku dapat. Aku tertegun dengan apa yang ku dengar ketika intro lagu mulai diputar. Dan lirik demi lirik mulai dinyanyikan.

Ketika dirimu ada di dekatku
Hangat cinta yang ku rasakan darimu
Tak tahan ingin ku mencurahkan semua
Padamu…

Tiba-tiba aku merasakan ada cairan hangat dari pelupuk mataku. Ku pasrahkan air bening itu menetes dari kedua sudut mataku, membasahi pelipis kanan dan kiriku.

Tuhan… dia lebih dari sekedar sahabat untukku. Dia adalah mimpi  di masa kecilku. Mimpi yang hingga kini masih ingin aku raih, untuk dapat aku wujudkan bersama mimpi-mimpi yang lain.

Kasih ku ingin kau tau segalanya
Slama ini yang ada dalam jiwaku
Meski ku tau semua takkan terbalas
Olehmu…

Tidak adakah sedikit ruang dalam hatinya yang ia ciptakan untuk diriku?
Tidak adakah perasaan lebih dari sekedar menyayangi sebagai sahabat kecilnya?
Lima belas tahun, tidakkah cukup untuk membuatku menjadi seseorang yang spesial melebihi seorang sahabat?

Karena engkau tlah jadi miliknya
Tak sepantasnya diriku merenggutmu
Dari cintanya

Selama ia berada disini, disampingku, aku cukup merasa nyaman menemani hari-harinya dengan mendengarkan semua pengakuannya, bahwa ia masih mengingat masa-masa itu.

Salahkah, jika aku… hanya ingin lebih lama lagi bersamanya?
Dan inikah, hukuman pahit untuk sebuah kesalahan yang ku perbuat, yang akhirnya justru menghancurkan diriku sendiri?

Biarkanlah menjadi kenangan
Yang indah dan takkan pernah ku lupa
Tuk selamanya

Membiarkan kebahagiaan terlewatkan begitu saja, sungguh menyakitkan. Hanya ada perasaan menyesal dan terus menyesal. Sungguh tidak ada yang menyenangkan dari sebuah penyesalan. Yang ada hanyalah rasa pahit, yang pahitnya mungkin melebihi pahit empedu.

Penyesalan, hanya menyisakan luka kepedihan, serta rasa perih yang membekas di lubuk hati yang terdalam. Aku tidak tau, entah dengan obat apa aku menyembuhkannya nanti.

Satu hal yang ku pinta dari dirimu
Jangan kau katakan kepada dirinya
Ku tak ingin hatinya cemburu
Karena diriku
Yang juga mencintaimu…

Aku wanita… dan Angel pun begitu. Tidak sepantasnya aku merenggut kebahagiaannya. Dan seandainya hal bodoh itu terjadi, bukan tidak mungkin, akan datang sebuah penyesalan baru di akhir cerita yang tertulis di atas pecahan kaca pengkhianatan.

Sungguh, sampai kapan pun, itu tidak akan adil…
Tidak adil untuk Angel, untuk Gabriel, bahkan untuk diriku sendiri.

Karena engkau tlah jadi miliknya
Tak sepantasnya diriku merenggutmu
Dari cintanya

Penyesalan, selalu datang terlambat, dalam situasi dan kondisi yang tidak pernah tepat. Ia tidak peduli, atau bahkan terlalu sulit untuk pergi dan bertukar posisi dengan kesempatan kedua, hingga menyisakan rasa trauma yang begitu mendalam.

Biarkanlah menjadi kenangan
Yang indah dan takkan pernah ku lupa
Tuk selamanya

Lima belas tahun… ada kita dalam cerita. Cerita yang tak biasa.
Cerita kita, boleh berakhir disini. Tapi persahabatan kita, tidak boleh berakhir dimana pun, kapan pun, dan karena alasan apapun.

Sesungguhnya cintaku padamu
Tulus tanpa memaksa dirimu
Untuk membalasnya…

Mencintai, adalah berusaha membuat orang yang kita cintai bahagia…
Mencintai, adalah bahagia melihat orang yang kita cintai bahagia…
Mungkin terkesan munafik.
Tapi itulah cinta… dan inilah cintaku.

Mungkin, penyesalan menjadi aktor penting di dalamnya. Tapi, aku tak butuh pengkhianatan sebagai pemeran pendukung di dalam cerita cintaku.

Cintaku, tak perlu memiliki dan dimiliki.
Merasakan sensasi luar biasa-nya saja, bagiku sudah lebih dari cukup. Karena biar bagaimanapun, aku ingin terus melangkah dan tak ingin berhenti. Tidak sedikitpun ingin kembali.

Setidaknya, aku tetap percaya, bahwa ini bukan akhir dari segalanya. Dan suatu saat, Tuhan akan mengijinkanku untuk bahagia, bahagia bersama seseorang yang telah Dia gariskan untuk menemaniku, menggapai mimpi yang selama ini hanya ada dalam angan, dan menjadikannya bintang yang begitu terang, yang dengan sinarnya mampu menerangi perjalananku, menuju cinta abadi.

The End.

Note:
·         Thanks to Sivia, Gabriel, Angel *pinjemnamayasayang*.
·         Thanks to GS for inspiration.
·         Thanks to Tia AFI dan Teguh Vagetos *pinjemlaguya*.

Selasa, 07 Desember 2010

Tulus – Part C

A Story by Zhi
Inspirated of GS
Dedicated for my friend, Nov 18th 2010

Tulus – Part C

Aku menatap bayangan diriku di cermin besar dekat tangga. Berputar ke kanan dan ke kiri, sekedar untuk meyakinkan bahwa tidak ada yang sedikitpun yang kurang pada penampilanku. Dan tanpa sadar, dari cermin di hadapanku, terlihat Gabriel telah berdiri di belakangku. Sambil tersenyum, ia mengucap sepatah kata… “Cantik…”

Ia mungkin tidak tau, bahwa pernyataannya barusan bagaikan sayap-sayap yang melengkapi sayap-sayapku dan membuatku terbang bebas di angkasa.

“Ehh… Gabriel… kamu… ngagetin aku aja.” Kataku sambil tersipu malu.

Seperti janjinya kemarin, Gabriel pun menjemputku jam 8 pagi. “Berangkat sekarang yuk…” katanya sambil terus memandangku.

Aku mengangguk, dan segera mensejajarkan langkahnya menuruni tangga menuju swift merah yang terparkir rapi di halaman depan rumahku.

“Kita mau kemana Gab?” tanyaku ketika Gabriel mulai mengemudikan swift merahnya.

“Ke pantai aja yuk... mau gak?”

“Mmm... boleh...”

Aku tersenyum, sambil terus menatap wajah tampan Gabriel. Laki-laki yang tidak pernah kujumpai sejak 7 tahun yang lalu, kini duduk di sebelahku. Ohh… ini seperti mimpi.

*

“Duduk sana aja yuk, Vi...” katanya sambil menggandeng tangan kananku.

Bibirku tak henti melukiskan senyum keindahan. Perasaanku seperti layaknya ballerina yang sedang menari, lembut dan gemulai, terus menari, melayang dan tak ingin berhenti.

Aku mensejajarkan langkahnya, menuju bangku yang ia pilih. Seorang pelayan muda mendekati kami, membawakan dua buah gelas minuman segar untu kami.

“Hehe... semalem aku ketawa-ketawa sendiri lho, Vi... inget kita jaman SD dulu...” kata Gabriel memulai obrolan kami.

“Oya? Inget... yang mana?” tanyaku sambil tersenyum tipis.

“Ya... semuanya. Waktu kamu nangis gara-gara temen-temen suka ngatain kita pacaran. Hehehe...”

“Ya... abisnya aku kan sebel diledekin mulu. Apalagi Zahra suka sama kamu. Aku jadi dimusuhin sama Zahra deh gara-gara dia cemburu...”

“Iya sih, yang aku denger Zahra suka sama aku.” Gabriel diam, dan senyumnya memudar. “Oiya Vi... kenapa dia sampe meninggal?”

Aku mendesah pelan. Terlalu berat untuk mengingat satu hal ini.

“Ceritanya panjang, Gab. Dia kuliah di Bandung. Waktu itu dia mau ke Jogja, ada acara buka puasa bareng temen-temen SMA-nya. Trus dia dijemput sama temen SMA-nya di terminal. Tapi malang, ada truk container menabrak motor yang dinaikinya...”

Tanpa kusadari, butiran air bening menetes di kedua pipiku. Tiba-tiba ada sedikit rasa sesak melanda perasaanku ketika aku mengingat Zahra.

Zahra adalah sahabat baikku. Kami selalu duduk sebangku sejak SD hingga kelas 3 SMP. Ya, 9 tahun aku duduk sebangku dengan Zahra, yang akhirnya berbeda sekolah denganku ketika masuk SMA hingga kuliah. Dan akhirnya setahun yang lalu, kejadian malang itu menimpanya.

“Udah... udah... jangan nangis donk. Aku gak bermaksud bikin kamu sedih kok...” kata Gabriel yang membiarkan jemarinya menghapus air mataku.

“Iya Gab... aku cuma kangen aja sama Zahra.” Kataku kemudian mengambil alih tugas Gabriel, menyeka sisa-sisa air mata yang belum sempat terhapus olehnya.

“Semua temen kita juga kangen sama Zahra, Vi... yang penting kita selalu doain dia, supaya dia tenang disana.” Aku mengangguk, menyetujui kalimatnya.

“Ehh, waktu aku mau pindah itu... kamu kok gak ngasih kenang-kenangan buat aku sih?” tanyanya lagi. Kini senyumnya terpulas lagi dari kedua sudut bibirnya.

“Aku kan takut kalo diledekin temen-temen lagi, Gab...” kataku sambil mengerucutkan kedua bibirku.

“Hehe... iya juga sih. Makanya waktu aku ngasih kenang-kenangan buat kamu, langsung aku anterin ke rumah kamu aja...” Gabriel mengangkat kedua kakinya ke atas bangku, dan kedua tangannya dilingkarkan hingga memeluk kedua lututnya. “Masih kamu simpen gak?”

Aku menatapnya. Tentu saja aku masih menyimpannya, sebuah buku diary berwarna perpaduan coklat muda dan coklat tua bergambar zodiakku, Aquarius, dan sebuah pulpen bergambar tazmania berwarna kuning dengan tali berbentuk kalung di ujung atasnya. Aku begitu menjaganya karena itu pemberian dari pangeran kecilku.

“Kok diem aja sih, Vi...” Gabriel menatapku lagi.

“Ehh... iya, Gab. Masih kok... masih aku simpen.”

Mengapa aku banyak menghabiskan waktu untuk diam saja? Bukankah aku sudah berjanji untuk tidak menyia-nyiakan hadiah dari Tuhan ini?
Ahh… kebersamaan ini tak boleh kusia-siakan.

“Diary coklat bergambar zodiak Aquarius sama pulpen kalung bergambar tazmania berwarna kuning...” Kata Gabriel sambil menerawang ke depan.

“Kamu... masih inget semuanya, Gab?” Tanyaku heran. Sungguh, aku tidak menyangka bahwa ingatannya tentang ini masih tertanam kuat.

“Hehe... gak semua sih. Tapi paling enggak, sebagian besar aku inget...” Gabriel menoleh ke arahku lagi. “Kamu… masih kayak dulu ya, Vi… cantik…”

Uhukk... uhukk... aku tersedak minumanku sendiri. Pertanyaan Gabriel barusan sukses membuat wajahku memerah seperti tomat.

“Hehe… pelan-pelan kali, Vi…” katanya sambil mengusap-usap tengkuk kepalaku. Aku hanya diam, lagi, berusaha menetralkan tenggorokanku yang tersedak. Tak dapat kupungkiri, sesungguhnya aku begitu menikmati setiap usapan lembut tangannya.

“Aku mau bikin pengakuan sama kamu nih, Vi…”

“Apa?” tanyaku heran.

“Kamu inget soal Septian gak?”

Aku mengangguk. “Septian… pacar kamu waktu SD kan? Yang rumahnya di Bandung?”

“Sebenernya… Septian itu cowo lagi, Vi. Dia itu sepupu aku. Tapi aku sebel sama temen-temen yang gak ada berhentinya ngeledekin kita mulu, sampe kamu nangis terus dan dimusuhin Zahra. Akhirnya, aku bilang aja kalo Septian itu pacar aku.”

“Hehehe… Ohh, jadi Gabriel itu hom”

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Gabriel buru-buru membekap mulutku. “Gila kamu Vi… aku gak gitu kali! Entar kalo ada yang denger bisa kacau. Masa cowo ganteng kayak aku dibilang begitu sih?!”

“Hahaha… abisnya ide kamu gila banget sih?!”

Ohh… ide Gabriel konyol sekali. Tak terbayang, dia berani berbohong demi menghentikan kejailan teman-teman masa kecilku.

“Daripada kamu nangis terus, hayou?” Gabriel meletakkan tangan kirinya di atas puncak kepalaku sambil mengusapnya pelan.

Dan desiran hangat dari alian darahku kembali terasa, melengkapi suasana indah yang tanpa sengaja kembali kami ciptakan.

“Aku kan gak tega juga…” katanya lagi sambil terus membelai puncak kepalaku.

Aku menunduk malu. Tiba-tiba aku merasakan ada sepasang kupu-kupu terbang berkejaran di dalam hatiku. Ohh… mungkin aku terlalu berkhayal.

 
“Aku sedih lho, Vi... waktu pesta ulang tahun aku yang ke-8, kamu gak dateng kan?” tanyanya sambil menurunkan tangan kirinya.

“Aku bisa jelasin kok...” Kataku sambil meletakkan segelas minuman di tanganku.

“Emang kenapa kamu gak dateng?” Tanya Gabriel dengan wajah bingung.

“Tapi kamu jangan ngetawain aku ya...” Gabriel mengangguk.

“Janji?” tanyaku lagi seraya memastikan.

“Janji.” Gabriel mengubah posisi duduknya menghadap ke arah diriku.

“Waktu itu... Mama juga nanyain aku, kenapa aku gak dateng di pesta ulang tahun kamu. Padahal anak-anak teman Papa yang lain kamu undang kan?! Semua temen sekelas juga kamu undang. Mama bahkan gak percaya kalo kamu gak ngundang aku…”

“Tapi, aku kan gak mungkin gak ngundang kamu Vi… perasaan aku udah kasih undangan ke kamu juga deh?!” kata Gabriel mengerutkan kening, sambil berusaha mengingat kembali.

“Emang kamu udah ngasih undangan ke aku kok.” Kataku santai.

“Trus…???”

“Undangannya aku buang, biar gak ketauan Mama.”

“Kenapa?”

“Karena aku gak mau dateng ke pesta ulang tahun kamu.”

“Kenapa gitu?” Gabriel kembali mengerutkan kening.

“Karena aku… takut disuruh foto sama kamu…”

“Bwahahaha…” Sebuah tawa tiba-tiba meledak dari wajah manisnya.

“Tuh kan, janjinya gak mau ngetawain?!” Aku mengerucutkan bibirku, menyesali perkataan yang terlontar dari bibirku dan tak dapat kutarik ulang.

“Abisnya kamu lucu sih, Vi… ada-ada aja… xixixi…” Gabriel masih saja terkekeh mendengar kalimatku tadi. Apanya yang lucu? “Kamu tuh ya, segitunya banget… xixixi…”

“Ihh, kamu tuh nyebelin ya Gab?! Aku kan takut kalo nanti temen-temen ngeledekin kita lagi gara-gara aku foto sama kamu…”

“Xixixi… ya lagian, siapa juga yang mau foto bareng kamu?!”

Aku memandangnya lagi. Sungguh, aku baru saja membuat sebuah pengakuan bodoh. Pengakuan yang membuatku terjebak dalam lubang yang ku buat sendiri.

“Ahh… kamu nyebelin, kamu nyebelin, kamu nyebelin…” kataku sambil memukuli lengan kiri Gabriel.

“Aduhh… ampun Nyai… ampun…” Gabriel berusaha menghentikan tingkahku.

“Kamu nyebelin…” Aku bergegas berdiri dan berlari pelan meninggalkannya.

Bukan… bukan karena aku marah dengannya. Tapi aku hanya merasa malu, telah memojokkan diriku dengan pengakuan bodoh yang tidak seharusnya ku ungkapkan.

“Via… Via… tunggu donk…”

Secepat kilat Gabriel telah mensejajarkan langkahnya denganku. Bagaimana tidak? Tubuh jangkung dan kedua kaki jenjangnya dapat dengan mudah mengejarku yang begitu pelan berlari.

Aku tetap tak bersuara, sambil menatap laut dan meneruskan berjalan menyusuri pantai.

“Via, jangan marah donk… Aku minta maaf deh…”

“Bohong!!! Tadi kan kamu udah janji gak bakal ngetawain aku!!!” kataku galak.

“Abisnya kamu lucu banget sih, Vi… xixixi…”

“Tuh kan, kamu ngetawain aku lagi?!” Sungguh, aku dibuat malu olehnya.

“Iya deh, Vi… aku minta maaf deh… Jangan marah donk…” Gabriel merayuku. Dan aku, masih tetap berjalan dan sama sekali tak peduli dengan kata-katanya. Hingga akhirnya…

“Besok aku balik ke Malaysia, Vi…”

Aku tercekat, dan langkahku tiba-tiba terhenti. Aku menatap lekat-lekat wajah manis pangeran kecilku. Dan dia pun balas menatapku.
Hening, hanya deburan ombak yang terdengar mengiringi drama yang kembali kami ciptakan.

“Aku naik pesawat pertama, jam 4 pagi. Soalnya aku sama Kak Irva besok sore mau nyusul Mama Papa ke Singapura.”

Aku masih terdiam, menikmati suasana melankolis yang aku ciptakan sendiri. Sesak. Hanya itu yang aku rasakan saat ini.

“Kamu baik-baik disini ya… “Gabriel meletakkan kedua telapak tangannya di kedua pundakku.

Aku merasakan sudut kedua mataku yang semakin panas, seperti ada air hangat yang membasahinya. Tak dapat kutahan, dan kini… terciptalah aliran sungai kecil di kedua pipiku.

“Lho… kamu kok nangis?!” Gabriel menaikkan posisi tangannya hingga membelai lembut pipi kanan dan kiriku. Ia terus menerus menatapku, membuat aliran sungai di pipiku mengalir semakin deras, tanpa aku mampu membendungnya.

Gabriel mendekat, kemudian mengarahkan kepalaku untuk bersandar di dadanya. Ya… pelukannya begitu hangat, melebihi hangatnya air mataku saat ini. Dan kini, tanpa ragu lagi, ku tumpahkan semua tangisku di pelukannya.

Dalam dekapannya yang lembut, untuk pertama kalinya aku merasa menemukan belahan jiwaku dalam sosoknya. Detak jantung Gabriel pun dapat ku dengar dengan jelas, tidak beraturan, seakan ingin turut serta merasakan drama romantis yang sedari tadi hatiku rasakan.

“Kamu jangan pernah ngerasa aku ninggalin kamu, Vi… kamu itu sahabat aku dari kecil. Dan gak mungkin aku lupain kamu…” katanya sambil terus membelai rambut panjangku.

Aku berusaha mencerna kalimatnya. Meski aku masih begitu menikmati hangat peluknya, sambil mendengarkan detak jantungnya yang semakin tak teratur menerima tubuhku yang semakin gemetar seperti orang kedinginan.

“Aku janji, kita gak akan hilang kontak kayak dulu lagi.”

Aku menarik tubuhku, hingga berjarak dengan tubuhnya. Aku menatapnya lagi, menikmati setiap lekukan wajah tampannya. Ya, aku tak ingin menyesal untuk kesekian kalinya. Karena bagaimanapun, setiap penyesalan hanya membuatku tidak nyaman.

“Aku bakal sering hubungin kamu. Kita bisa smsan, telfonan, ym-an, fesbukan, twitteran… pokonya aku gak mau kita hilang kontak kayak dulu lagi. Oke?”

Aku mengangguk, mengangguk bahagia, sekalipun sejujurnya ada bagian dari hati ini yang terluka.

“Udah ya, jangan nangis lagi…” katanya sambil menyeka air mataku dengan jemarinya. “Senyum donk…”

Aku pun menuruti perintahnya, tersenyum, berusaha menikmati sensasi apa yang terjadi dalam kebersamaanku bersama Gabriel. Kebersamaan yang entah kapan akan kami ciptakan kembali. Kebersamaan yang dulu sempat terhalang karena jarak, dan karena sesuatu yang sangat tidak prinsipil.

Sesungguhnya, aku hanya ingin bisa lebih lama lagi bersamanya…

To Be Continue...

Note:
  • Thanks to Sivia, Gabriel,  Septian, Zahra *pinjemnamayasayang*.
  • Thanks to GS for inspiration.


Minggu, 05 Desember 2010

Tulus – Part B


A Story by Zhi
Inspirated of GS
Dedicated for my friend, Nov 18th 2010

Tulus – Part B

Laki-laki itu... penampilannya berubah. Tidak seperti saat terakhir aku bertemu dengannya 7 tahun lalu, saat ia bertandang ke rumahku dalam rangka liburan Hari Raya. Terang saja, badannya begitu tegap dan tinggi. Rambutnya lebih gaya. Begitu juga penampilannya yang terlihat keren, dengan kemeja pendek perpaduan warna hitam dan merah yang tampak manis. Membuat kulit hitam manisnya semakin terlihat manis. Dan satu hal yang pasti… ia terlihat dewasa.

“Gab... Gabriel...” kataku terbata-bata.

“Iya... kamu masih inget aku kan?” tanyanya lagi.

Begitu melihatnya kembali, aku merasakan perubahan besar dari dirinya. Sungguh, aku benar-benar tidak bisa mengontrol detak jantungku yang semakin tak karuan. Seperti ada sensasi tersendiri, apalagi ketika dia maju dua langkah mendekatkan posisinya dengan posisiku berdiri.

“Kok diem Vi? Aku keren gak?” Katanya tersenyum sambil sedikit menata rambutnya. Sepertinya ia bisa membaca pikiranku.

“Ehh... iya...” Aku berusaha menutupi kegugupanku dengan tersenyum, berharap Gabriel tidak menyadari sikap aneh yang tanpa sengaja aku tampilkan begitu saja.

“Gimana kabar kamu? Kuliah dimana sekarang?” Ohh, senyumnya masih tetap manis, seperti dulu.

 Aku dan dia pun duduk di bangku panjang sebelah timur laut panggung, dekat meja softdrink, tak jauh dari tempat kami berdiri tadi.

“Aku baik, kuliah di Universitas Nusantara. Kamu?”

“Aku juga baik...”

Tiba-tiba suara Shilla dari atas panggung membuat semua hadirin memfokuskan kedua matanya masing-masing, memandangi si tuan rumah yang sekaligus merangkap sebagai MC bersama Alvin.

“Temen-temen, kita mulai acaranya yuk... mumpung udah banyak yang dateng...”

Acara dimulai, dan semua teman-temanku berbaur mendekat ke panggung, menikmati acara reuni SD untuk pertama kalinya setelah 14 tahun kami dinyatakan lulus.

Aku berdiri, sambil membetulkan lekukan rok-ku yang sedikit berantakan, siap melangkah untuk berbaur dengan mereka. Tapi tiba-tiba, tangan kananku tertahan.

“Kita disini aja, masih keliatan juga kan panggungnya...” Tangan kiri laki-laki itu… ternyata dia yang menahanku.

Aku mengangguk, kemudian duduk kembali. Kami begitu menikmati acara spesial ini. Dan berkat ide cemerlang Shilla, kami pun bisa menikmati permainan gitar akustik Rio yang diiringi dengan permainan piano Ify. Mereka bernyanyi bersama di atas panggung, melantunkan sebuah lagu cinta yang mungkin tengah menggambarkan suasana hati mereka.

Awalnya keduanya tampak canggung, dan terlihat jelas kegugupan dari masing-masing. Tapi seiring mengalunnya nada-nada yang mereka mainkan secara tulus dari hati yang terdalam, keduanya tampak larut dalam permainan satu sama lain, menciptakan kenangan manis yang dulu sempat terlewatkan dalam perjalanan hidup keduanya.

Sementara aku... hanya mampu terdiam dari atas bangku. Menikmati setiap aliran darah yang mengalir deras dari dalam tubuhku, mengiringi detakan jantungku yang semakin tak teratur dan menciptakan sensasi luar biasa.

Aku memilih menunduk sambil menikmati penampilan kedua sahabatku dari atas panggung. Kedua mata beningku merasa lebih nyaman untuk memandangi ujung-ujung higheels-ku, daripada harus beradu pandang dengan kedua mata bening laki-laki yang kini duduk di sebelah kananku.

“Si Rio makin jago deh main gitarnya...”

Aku mengangkat kepalaku, sekedar untuk memandang ke arah panggung. “Iya... Ify juga keren main pianonya.”

Sungguh, aku sedikit tidak nyaman dengan suasana yang tanpa sengaja aku ciptakan sendiri. Tidak tau harus memulai pembicaraan darimana. Bahkan tidak tau topik apa yang seharusnya kami bicarakan. Sejauh ini aku hanya menunggunya bicara, melontarkan pernyataan atau bahkan pertanyaan yang… aku pikir sangat standar.

“Eh iya, Vi... kamu masih suka nari gak? Dulu kan kamu jago banget nari daerah. Tiap perpisahan kakak-kakak kelas 6 selalu tampil.” Katanya lagi.

“Ohh... itu... udah enggak kok, Gab. Aku udah jarang latian.”

“Mmm, sayang banget ya. Padahal nari kamu bagus lho. Kak Irva aja suka cerita, dulu waktu latian nari... kamu cepet banget apalnya, dia aja kalah...”

Aku menghadapkan wajahku kepadanya, sedikit kaget. Tapi aku memutuskan untuk menunggu ia meneruskan kalimatnya.

“Kamu inget gak waktu kamu nari kupu-kupu bareng Kak Irva dulu pas papa-papa kita ngadain acara syukuran keberhasilan bisnisnya? Yah... kita-kita juga deh, anak-anaknya, yang dipajang di atas panggung. Kata mereka, mereka bangga punya anak-anak kayak kita. Hehe…” Katanya semangat.

Mataku menerawang ke depan, melanglang buana mengingat kejadian saat kami masih kecil. Ya... aku ingat, kami putra-putri para pebisnis, berlatih menari bersama setiap sore, untuk dipentaskan di acara syukuran keberhasilan bisnis papa bersama tim-nya.

“Aku inget banget, waktu itu aku juga latihan nari kuda-kepang sama adik kamu... si Ozy. Wahh... pasti dia sekarang udah gede.” Sambung Gabriel lagi.

Aku mengerutkan kening. Sungguh tidak menyangka... dia bahkan masih mengingat itu?

“Iya, Ozy udah kuliah sekarang...” Responku singkat. Masih tidak mampu menyusun puzzle kalimat yang sepantasnya ku ucapkan.

“Lucu ya, Vi... kalo inget-inget jaman dulu.” Katanya sambil tersenyum kepadaku. Aku mengangguk sambil membalas senyumnya.

Ya, memang lucu... dan terkadang geli sendiri mengingat masa kecil kami. Andai waktu bisa terulang, mungkin aku akan menciptakan lebih banyak kenangan bersamanya, agar aku tidak pernah kehabisan momen untuk mengingat kembali masa indah itu.

*

Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 4 sore. Acara reuni telah terlaksana dengan baik. Sebagian besar teman-teman kecilku pun sudah meninggalkan tempat ini. Hanya tersisa beberapa orang saja. Shilla, Alvin, Ify, Rio, Gabriel... dan diriku.

Alvin yang rumahnya memang bersebelahan dengan Shilla, menahan kami agar tidak buru-buru meninggalkan tempat ini.  

“Ehh... foto dulu yuk...” Alvin bahkan sengaja mengabadikan kebersamaan kami lewat kamera SLR yang dibawa Gabriel. Kami berfoto bersama, melepas kerinduan dan menikmati kebersamaan kami.

“Rio foto sama Ify donk...” pinta Alvin. Rio dan Ify tampak malu-malu, tapi akhirnya sebuah jepretan dari tangan mahir Alvin pun mengabadikan kebersamaan mereka berdua.

Aku terus menerus memandangi kedua sahabatku yang tengah dimabuk cinta itu. Wajah Ify langsung memerah ketika Rio secara tiba-tiba membetulkan letak pita Ify yang berubah posisi dari semula karena tersenggol ranting bugenvil di tepi kolam renang. Ohh... manis sekali...

“Sekarang Gabriel sama Sivia donk...” kata Alvin lagi.

“Hah... gue?” kataku kaget.

“Iya... kalian berdua. Ayo Gab...”

Gabriel berjalan mendekati Alvin. Ia nampak setuju saja dengan usulan Alvin. “Vi... ayo sini, kita foto bareng.”

Dengan sedikit canggung, aku melangkah dan berdiri di sebelah kanan Gabriel. Aku dan Gabriel pun akhirnya berfoto bersama.

“Senyum donk, Vi...” kata Alvin sambil menfokuskan bidikannya. “Sip...”

 
Ify tampak menikmati kebersamaannya bersama Rio. Begitu pula Alvin dan Shilla, kedua sahabat sekaligus tetangga, yang tampak asik melihat-lihat foto hasil jepretan Alvin selama acara tadi.

Hanya aku dan Gabriel yang tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing. Atau mungkin, lebih tepatnya menyibukkan diri masing-masing. Gabriel tampak berkutat dengan handphone-nya, sementara aku tengah membaca-baca pesan dan kesan teman-teman yang hadir tadi, lewat buku tamu yang kutemukan di atas meja dekat tempatku duduk.

Ketika masih asik dengan kegiatanku, tanpa ku sadari, Gabriel mendekat dan duduk di sebelah kananku.

“Belum mau pulang, Vi?”

Secepat kilat aku mengarahkan pandanganku kepada Ify dan Rio. Dua sejoli yang sedang dimabuk cinta monyet itu tampak asik dengan dunia yang mereka ciptakan. Dunia yang hanya mereka berdua yang memiliki, dan tak boleh ada seorang pun yang ikut tinggal bersamanya.

Sepertinya aku bingung harus bagaimana menjawab pertanyaan Gabriel. “Mmm... Ify kayaknya masih pengen sama Rio deh...”

“Ya ampun, Via... kamu tuh polos banget sih? Ckckck...” Gabriel tersenyum tipis.

“Polos... gimana maksudnya?” Sungguh, aku tidak mengerti maksudnya.

“Ify pasti pulang sama Rio-lah...”

Belum sempat kutanggapi kalimat Gabriel, tiba-tiba Ify dan Rio menghampiri kami.

“Vi... mau pulang sekarang gak? Kita naik mobilnya Rio aja...” kata Ify.

Benar saja kata Gabriel barusan. Ify berniat pulang bersama Rio.

“Nanti Via biar pulang sama gue, Fy... elo sama Rio duluan aja.” Kata Gabriel sebelum aku sempat merespon kalimat Ify.

“Oke deh. Jagain Via, ya Gab... jangan diturunin sembarangan.” Goda Ify yang diikuti senyum jail Rio.

“Siap bos...”

“Kita duluan ya...” Pamit Rio kemudian.

Aku dan Gabriel sama-sama diam, memandangi kedua punggung sahabat kami yang semakin menjauh. Sepertinya pertanyaan atas keraguan Ify terhadap Rio selama ini terjawab sudah. Kini keduanya tak ragu lagi untuk bergandengan tangan, seakan benar-benar tidak ingin untuk kedua kalinya melewatkan kesempatan yang Tuhan hadiahkan.

“Mereka cocok ya, Vi...” kata Gabriel menyadarkan lamunanku.

“Ehh, iya...” Jawabku singkat.

“Salut deh... 15 tahun, dua-duanya jalanin semuanya masing-masing, sama pasangan masing-masing, sama dunianya masing-masing, tapi tetep aja balik kesitu lagi...”

Aku mengangguk menyetujui kalimatnya. Dan kulihat Gabriel masih memandangi mobil Rio yang tampak meninggalkan halaman rumah Shilla.

“Pulang sekarang yuk...” tiba-tiba Gabriel berdiri, dan aku pun mengikutinya, menghampiri Shilla dan Alvin sekedar untuk berpamitan.

“Shil, Vin... kita pamit dulu ya, udah sore.” Pamitku kepada keduanya.

“Ohh... padahal masih kangen, Vi.” kata Shilla yang tanpa sengaja menunjukkan wajah kecewa. “Kapan-kapan maen lagi ya...”

Aku mengangguk, dan Gabriel pun mendekati Alvin. Belum sempat Gabriel mengucapkan sepatah katapun, Alvin sudah menggodanya.

“Shil... abis makan-makannya Rio sama Ify, kayaknya bakal ada makan-makan lagi deh...”

“Apaan sih lo, Vin... ada-ada aja.” Kata Gabriel yang menghadiahkan sebuah sikutan ke perut Alvin.

“Awww... jahat lo, Gab.” Alvin meringis tapi setengah terkekeh. Sementara aku dan Shilla, hanya bertukar tawa melihat tingkah kekanak-kanakan keduanya.

“Okelah, gue pamit ya... Kamera-nya gue bawa. Entar foto-fotonya gue upload di fesbuk aja.”

“Oke, sip...” kata Alvin sambil menyerahkan kamera SLR kepada Gabriel.

*

Tak banyak yang kami bicarakan dalam perjalanan pulang. Aku lebih memilih untuk diam sambil mengarahkan pandanganku keluar jendela. Dan Gabriel, tampak fokus mengendarai swift merahnya, sambil sesekali ikut bersenandung menyanyikan lagu-lagu yang diputar dari radio mobilnya.

“Mama Papa gimana kabarnya, Vi?” tanya Gabriel memecahkan keheningan diantara kami.

“Baik. Mama Papa kamu apa kabar juga?”

“Baik. Mereka nitip salam juga buat keluarga kamu...”

“Ohh... salam balik ya, buat Om sama Tante. Mereka gak ikut kesini?”

“Enggak. Mama Papa lagi ke Singapura, ngurus bisnis gitu deh...”

Entah kenapa, sampai detik ini aku masih merasa canggung untuk menghabiskan waktu hanya berdua bersama Gabriel. Tidak seperti Ify dan Rio.
Ya, hanya berdua. Harus ku akui, terlalu banyak yang ingin kesampaikan dan kutanyakan padanya. Pertanyaan dan rasa ingin tahu yang selama ini hanya tertata rapi dalam ingatanku. Tapi nyatanya, tidak satupun yang mengalir lancar dari mulutku. Seperti ada lingkaran yang menahanku hingga aku tak bebas untuk berlari.

“Rumah kamu masih di daerah Puri Sartika kan?” tanyanya menyadarkan lamunanku.

“Ehh... iya, Gab. Kamu... masih inget jalannya?” Jawab dan tanyaku lagi.

“Mmm... lupa-lupa dikit sih. Hehe... entar kasih tau ya, kalo salah jalan.” Aku tersenyum membalas senyumnya. Sungguh, ia manis sekali...

Aku sadar, ini kesempatan besar untuk merajut kembali semua yang sempat berantakan. Tapi aku tak tau darimana harus memulainya. Memang, tidak ada seorang pun yang tau, bahwa aku... sama seperti Ify.

Aku masih menyisakan setengah ruang hatiku untuk Gabriel, meski aku pernah menjalin komitmen dengan orang lain. Dan kini, ketika waktu mengijinkan aku untuk bertemu kembali dengannya, rasa itu menyeruak, seakan memaksaku untuk tidak melewatkannya lagi... sama seperti Ify dan Rio.
Tapi... apa Gabriel juga merasakan hal yang sama?

“Vi... besok jalan yuk...” Secepat kilat ku alihkan pandanganku dari luar mobil menghadap ke arah Gabriel.

“Hah? Jalan?” Gabriel mengangguk. “Kemana?”

“Kemana aja... terserah kamu. Kan udah lama juga aku gak ketemu kamu. Jadi mau donk, jalan seharian sama aku...” Tanpa sengaja Gabriel menunjukkan wajah memohon.

“Mmm... gimana ya, Gab?”

“Ayolah, Vi... mumpung aku bisa balik ke Indonesia... Mau ya...”

Aku tidak tega menolak permintaannya. Ohh bukan... bukannya aku tidak tega. Aku hanya ragu. Semakin aku bersama Gabriel, semakin aku merasa bersalah. Bersalah karena telah melewatkan kesempatan hanya untuk diam dan tetap diam. Tak banyak bicara, seperti saat ini.

Tapi, mengapa aku tidak berusaha memperkecil kesalahan itu? Agar tidak terulang lagi dalam sisa waktu yang Tuhan hadiahkan untuk bisa ku lalui bersama Gabriel?  

Aku berpikir sejenak. Mungkin... tak ada salahnya dicoba. Toh bagaimanapun, ada keinginan besar dari dalam hatiku untuk tidak melewatkan kesempatan baik ini.

“Oke deh...”

“Sip... besok aku jemput jam 8 ya.” Kata Gabriel sambil tersenyum.

Aku mengangguk, dan kembali menyembunyikan wajah merahku dengan terus menatap keluar jendela. Sungguh, ada rasa bahagia yang menyelinap dalam setiap aliran darahku. Rasa bahagia yang selama ini terlewatkan, tanpa aku peduli telah melewatkannya.

“Ehh... bener kan ini jalannya?” tanya Gabriel lagi.

“Iya bener kok. Entar lampu merah depan ambil kiri aja...”

“Okey...”

Rasanya hati ini mulai mampu bersahabat dengan keadaan. Bahkan telah bersiap untuk membentangkan sayapnya lebar-lebar, menyambut sebuah cinta lama yang perlahan kembali.

Aku bahkan merasa tidak sabar menunggu hari esok. Ingin segera menikmati hari bersama pangeran kecilku yang kini mampu membuat sayap-sayap patahku kembali mengepak dan bersiap terbang bersamanya.

To Be Continue...

Note:
·         Thanks to Sivia, Ify, Shilla, Rio, Gabriel, Alvin, Irva, Ozy *pinjemnamayasayang*.
·         Thanks to GS for inspiration.