A Story by Zhi
Inspirated of GS
Dedicated for my friend, Nov 18th 2010
Tulus – Part D
Tak terasa, sebulan sudah Gabriel meninggalkan tanah air tercinta. Meninggalkanku untuk kesekian kalinya, untuk sebuah masa yang dia sendiri tidak tau kapan akan berakhir. Satu musim, dua musim… atau bahkan sepanjang masa?
Mataku masih menggenggam erat diary coklat bergambar zodiak Aquarius pemberian Gabriel 10 tahun lalu. Resah… tidak ada pesan singkat darinya sejak seminggu terakhir. Menimbulkan pertanyaan-pertanyaan aneh yang hanya mampu berkeliaran dalam pikiranku.
Mungkin saja kesibukannya sebagai pengusaha muda generasi penerus di perusahaan keluarganya cukup menyita sebagian waktunya. Belum lagi dengan kegiatan kuliah yang membutuhkan konsentrasi penuh dan stamina prima.
Alun sebuah symphony
Kata hati disadari…
Sebuah nada pesan singkat berdering dari handphone-ku. Aku meraihnya, kemudian duduk di tepi tempat tidurku sambil membaca pesan singkat yang tertulis. Ohh bukan dari Gabriel, tetapi dari salah seorang sahabatku.
From: Rio
Buka fesbuk, Vi. Udah di tag-in foto tuh sama Gabriel. (^_^)
Tanpa menunggu, ku ketikkan sebuah kata untuk membalasnya.
To: Rio
Oke. (^_^)
Secepat kilat ku lemparkan handphone ke atas tempat tidur. Tidak peduli lagi. Kemudian aku bergegas membuka laptop sambil duduk manis di kursi belajar.
Sesuai dengan perintah Rio, ku aktifkan akun fesbuk, dan ku dapati beberapa pemberitahuan baru, yang salah satunya bertuliskan sebuah kalimat.
‘Gabriel Stevent Damanik menandai Anda dalam fotonya’.
Aku tersenyum, dan karena sudah tidak sabar, sesegera mungkin ku buka foto yang ditandai Gabriel.
“Pasti foto waktu reunian kemarin.” Kataku ceria.
Benar saja. Gabriel menandai aku dalam foto-foto yang diciptakan dengan kamera SLR-nya sekitar sebulan yang lalu. Dan untuk beberapa saat jemariku berhenti beraktifitas. Mataku sibuk menatap foto hasil bidikan Alvin, dengan hanya aku dan Gabriel sebagai objeknya.
Gabriel… sungguh ia terlihat tampan sekali. Senyumnya begitu manis, terlihat tulus dari hatinya yang terdalam. Kemeja kombinasi warna merah dan hitam tidak membuat kulitnya semakin gelap. Justru cocok dengan warna baju yang kukenakan.
Kugerakkan kembali jemariku mengetikkan sesuatu pada kotak komentar.
“Bagus Gab. Aku suka banget… Boleh donk aku kopi?”
Lagi-lagi hanya sebuah kalimat standar … atau mungkin tidak ada artinya. Lalu harus bagaimana? Aku tidak pandai menciptakan sebuah kalimat romantis.
Tidak puas hanya memandangi satu foto saja, aku pun menyempatkan diri melihat koleksi fotonya. Baru kali ini saja aku menyempatkan membuka profilnya. Bukan apa-apa. Tugas kuliahku yang cukup menyita membuatku jarang mengaktifkan akun fesbukku. Sejak acara reuni hingga sebelum membaca pesan singkat Rio tadi, aku bahkan baru sekali saja mengaktifkan akunku. Itu pun hanya untuk mengkonfirmasi permintaan pertemanan dari sahabat-sahabat masa kecilku itu, termasuk Gabriel.
Ada album foto bersama keluarga, teman-teman kuliah, teman-teman klub fotografinya, dan sebuah album berjudul ‘my angel’.
Penasaran. Satu kata yang menyeruak di antara partikel-partikel tubuhku yang bergerak semakin tak beraturan.
Dengan tangan gemetar, perlahan kulihat satu persatu foto-foto di dalamnya. Hanya ada dua objek manusia pada album foto yang judulnya saja sudah membuatku senam jantung tak kunjung henti. Kalau tidak Gabriel, berarti hanya gadis itu sebagai objeknya. Tapi, gadis dalam foto-foto ini… aku tidak pernah mengenal sebelumnya. Dia terlihat begitu asing bagiku.
Entah di urutan foto untuk kesekian kalinya, aku begitu terkejut melihat foto-foto Gabriel bersama gadis itu. Di salah satu foto itu memiliki keterangan,
‘Me with my angel. She is my girlfriend. And I love her so much ^_^’
Buru-buru aku melihat Informasi Profil Gabriel, dan benar saja. Dalam status hubungannya tertulis jelas,
’18 Oktober 2010’
‘Gabriel Stevent Damanik in relationship with Angelica Martha Pieter’.
Sudah dua minggu yang lalu…
Ribuan tanda tanya tetap tak kunjung pergi dari pikiranku. Jemariku tampak sibuk mengarahkan kursor pada tulisan ‘Angelica Martha Pieter’. Dan klik…
Sebuah profil dengan objek foto gadis yang sama dengan album ‘my angel’ milik Gabriel, menghiasi layar putih dengan kepala halaman berwarna biru di hadapanku.
Hening. Aku beranjak dari tempat dudukku, kemudian membaringkan tubuhku di atas tempat tidur, dan menutup mata rapat-rapat. Hatiku terasa sesak. Ada perasaan rindu yang sedari tadi berkobar kini meredup dan mengarah padam.
Dalam hitungan detik, satu persatu tanda tanya di pikiranku mulai mundur perlahan, berganti menjadi tanda seru.
Hanya sebuah penyesalan yang kini bersarang di kepalaku. Penyesalan yang sebenernya tercipta karenaa kesalahanku sendiri. Membuat pikiranku secara sengaja memilih berhenti sejenak untuk memikirkan apapun.
Kenapa aku kembali melewatkan kesempatan itu? Kesempatan berarti yang entah kapan akan kudapatkan lagi. Kenapa aku harus selalu diam dan tak berani memulai semuanya? Dia pria, dan aku wanita. Seharusnya dia dulu yang memulai semuanya. Tapi… bukankah keadilan gender sudah lama berlaku?
Aku terlalu ragu, untuk memulai semuanya bersama Gabriel. Bahkan sama sekali tidak yakin untuk berusaha menemukan jawaban dari sebuah pertanyaan inti atas perasaanku.
Tidak ada kata sayang yang terucap, ketika kami menghabiskan waktu bersama di pantai kala itu. Tidak ada kata sayang yang terucap, ketika dia menyandarkan kepalaku di dadanya, kemudian memelukku erat. Tidak ada kata sayang yang terucap, ketika dia membiarkan aku menumpahkan semua tangisku dalam dekapan hangatnya. Tidak ada kata sayang yang terucap, ketika jemarinya dengan lembut menghapus air bening yang mengalir dari kedua sudut mataku.
Hanya sahabat. Ya, hanya sahabat… begitulah arti diriku untuknya. Sahabat yang telah menemani perjalanan seperempat usianya, sahabat masa kecilnya. Dan kini, setelah takdir berkata lain, yang aku rasa hanya sebuah penyesalan.
Aku membuka mata perlahan. Kemudian meraih handphone yang sedari tadi tergolek pasrah di atas tempat tidurku. Kupasangkan kedua headset ke telingaku. Kemudian kunyalakan radio dengan channel sekenanya.
Kembali ku menutup mata, mendengarkan suara riang sang penyiar yang tengah bersenda gurau dengan pendengarnya melalui telfon online. Hanya berharap penyiar yang tak ku kenal itu bisa membawaku pergi dari suasana melankolis yang sungguh menyesakkan ini.
Namun, justru kebalikan dari itu yang aku dapat. Aku tertegun dengan apa yang ku dengar ketika intro lagu mulai diputar. Dan lirik demi lirik mulai dinyanyikan.
Ketika dirimu ada di dekatku
Hangat cinta yang ku rasakan darimu
Tak tahan ingin ku mencurahkan semua
Padamu…
Tiba-tiba aku merasakan ada cairan hangat dari pelupuk mataku. Ku pasrahkan air bening itu menetes dari kedua sudut mataku, membasahi pelipis kanan dan kiriku.
Tuhan… dia lebih dari sekedar sahabat untukku. Dia adalah mimpi di masa kecilku. Mimpi yang hingga kini masih ingin aku raih, untuk dapat aku wujudkan bersama mimpi-mimpi yang lain.
Kasih ku ingin kau tau segalanya
Slama ini yang ada dalam jiwaku
Meski ku tau semua takkan terbalas
Olehmu…
Tidak adakah sedikit ruang dalam hatinya yang ia ciptakan untuk diriku?
Tidak adakah perasaan lebih dari sekedar menyayangi sebagai sahabat kecilnya?
Lima belas tahun, tidakkah cukup untuk membuatku menjadi seseorang yang spesial melebihi seorang sahabat?
Karena engkau tlah jadi miliknya
Tak sepantasnya diriku merenggutmu
Dari cintanya
Selama ia berada disini, disampingku, aku cukup merasa nyaman menemani hari-harinya dengan mendengarkan semua pengakuannya, bahwa ia masih mengingat masa-masa itu.
Salahkah, jika aku… hanya ingin lebih lama lagi bersamanya?
Dan inikah, hukuman pahit untuk sebuah kesalahan yang ku perbuat, yang akhirnya justru menghancurkan diriku sendiri?
Biarkanlah menjadi kenangan
Yang indah dan takkan pernah ku lupa
Tuk selamanya
Membiarkan kebahagiaan terlewatkan begitu saja, sungguh menyakitkan. Hanya ada perasaan menyesal dan terus menyesal. Sungguh tidak ada yang menyenangkan dari sebuah penyesalan. Yang ada hanyalah rasa pahit, yang pahitnya mungkin melebihi pahit empedu.
Penyesalan, hanya menyisakan luka kepedihan, serta rasa perih yang membekas di lubuk hati yang terdalam. Aku tidak tau, entah dengan obat apa aku menyembuhkannya nanti.
Satu hal yang ku pinta dari dirimu
Jangan kau katakan kepada dirinya
Ku tak ingin hatinya cemburu
Karena diriku
Yang juga mencintaimu…
Aku wanita… dan Angel pun begitu. Tidak sepantasnya aku merenggut kebahagiaannya. Dan seandainya hal bodoh itu terjadi, bukan tidak mungkin, akan datang sebuah penyesalan baru di akhir cerita yang tertulis di atas pecahan kaca pengkhianatan.
Sungguh, sampai kapan pun, itu tidak akan adil…
Tidak adil untuk Angel, untuk Gabriel, bahkan untuk diriku sendiri.
Karena engkau tlah jadi miliknya
Tak sepantasnya diriku merenggutmu
Dari cintanya
Penyesalan, selalu datang terlambat, dalam situasi dan kondisi yang tidak pernah tepat. Ia tidak peduli, atau bahkan terlalu sulit untuk pergi dan bertukar posisi dengan kesempatan kedua, hingga menyisakan rasa trauma yang begitu mendalam.
Biarkanlah menjadi kenangan
Yang indah dan takkan pernah ku lupa
Tuk selamanya
Lima belas tahun… ada kita dalam cerita. Cerita yang tak biasa.
Cerita kita, boleh berakhir disini. Tapi persahabatan kita, tidak boleh berakhir dimana pun, kapan pun, dan karena alasan apapun.
Sesungguhnya cintaku padamu
Tulus tanpa memaksa dirimu
Untuk membalasnya…
Mencintai, adalah berusaha membuat orang yang kita cintai bahagia…
Mencintai, adalah bahagia melihat orang yang kita cintai bahagia…
Mungkin terkesan munafik.
Tapi itulah cinta… dan inilah cintaku.
Mungkin, penyesalan menjadi aktor penting di dalamnya. Tapi, aku tak butuh pengkhianatan sebagai pemeran pendukung di dalam cerita cintaku.
Cintaku, tak perlu memiliki dan dimiliki.
Merasakan sensasi luar biasa-nya saja, bagiku sudah lebih dari cukup. Karena biar bagaimanapun, aku ingin terus melangkah dan tak ingin berhenti. Tidak sedikitpun ingin kembali.
Setidaknya, aku tetap percaya, bahwa ini bukan akhir dari segalanya. Dan suatu saat, Tuhan akan mengijinkanku untuk bahagia, bahagia bersama seseorang yang telah Dia gariskan untuk menemaniku, menggapai mimpi yang selama ini hanya ada dalam angan, dan menjadikannya bintang yang begitu terang, yang dengan sinarnya mampu menerangi perjalananku, menuju cinta abadi.
The End.
Note:
· Thanks to Sivia, Gabriel, Angel *pinjemnamayasayang*.
· Thanks to GS for inspiration.
· Thanks to Tia AFI dan Teguh Vagetos *pinjemlaguya*.